Sebagai
konsekuensi dari kondisi geologi dan geografis kepulauan Indonesia, yaitu
berada pada 3 buah lempeng yang terus menerus bergerak dan saling bertumbukan,
adalah adanya zona-zona gempa yang sebagian besar berada di dasar laut dengan
pusat-pusat gempa yang bervariasi kedalamannya dan sewaktu-waktu dapat
membangkitkan gelombang Tsunami. Adanya ancaman tersebut menuntut penduduk
khususnya di sekitar pesisir pantai untuk berpikir solusi jangka panjang guna meminimalisir dampak yang ditimbulkan apabila
gelombang tsunami terjadi. Upaya meminimalkan dampak tersebut tidak mudah
dilakukan dan harus dilakukan secara terintegrasi. Penerapan sistem
perlindungan pantai baik dengan Metode Perlindungan Alam (MPA) dan Metode
Perlindungan Buatan (MPB) tidak terlepas dari peran masyarakat sekitar pesisir
pantai.
Kegiatan
yang dapat dilakukan sebagai upaya meminimalkan dampak akibat gelombang tsunami
ataupun abrasi salah satunya dapat dilakukan dengan menerapkan Metode
Perlindungan Buatan (MPB) dengan membuat struktur hutan buatan. Vegetasi pantai memiliki peran yang sangat penting sebagai pencegah
abrasi. Tumbuhan pantai umumnya memiliki akar yang panjang dan kuat sehingga
mampu menahan substrat dari hempasan gelombang. Demikian pula saat timbulnya tsunami, vegetasi
pantai memiliki kemampuan untuk meredam energi gelombang yang sangat besar.
Efektifitas peredaman
energi gelombang oleh vegetasi pantai sifatnya relatif dan ditentukan oleh
banyak faktor. Kerapatan vegetasi, ketebalan vegetasi dari pantai ke arah
darat, topografi pantai, karakteristik substrat serta kondisi ekosistem terumbu
karang dan lamun sangat menentukan efektifitas vegetasi pantai dalam meredam
gelombang. Efektifitas peredaman energi gelombang oleh vegetasi pantai
umumnya berkisar antara 0 – 30 % (Desai,
2000).
Namun
upaya pengurangan resiko bencana Tsunami dengan vegetasi sebagai buffer ini
belum banyak dikembangkan. Salah satu hal yang menyebabkan
belum diliriknya vegetasi pantai sebagai pelindung pantai adalah karena
vegetasi pantai dianggap tidak memiliki nilai ekonomi sehingga masyarakat dan
pemerintah setempat enggan melakukan penanaman.
Sebagai
solusi terhadap permasalahan di atas dilakukan kombinasi terhadap kedua hal
tersebut kedalam sebuah rancangan hutan pantai berbasis rekayasa vegetasi
beserta perencanaan tata ruang yang dapat memenuhi kedua aspek permasalahan
diatas yaitu kelestarian ekosistem dan peningkatan ekonomi masyarakat. Rekayasa
vegetasi dengan memadukan tanaman kehutanan jenis Casuarina equisetifolia, Cocos
nucifera dan pertanian buah naga diharapkan mampu mengurangi risiko
terhadap gelombang tsunami.
Model
tata ruang pertanaman sebagaimana digambarkan dalam gambar 9. Pada zona
terdepan ditanam dengan jenis Casuarina
equisetifolia dengan jarak tanam 2 x 3 m dengan sistim selang-seling (untu
walang). Cemara udang disinii berfungsi sebagai barrier / pagar terdepan dengan
alternative 3 lapis hingga 2 lapis. Casuarina equisetifolia toleran terhadap angin yang kuat sehingga dapat
tumbuh pada daerah-daerah yang rentan terhadap topan tropis dan angin puyuh dan
berfungsi pula untuk melindungi tumbuhan lain. Adanya jarak diantara
tanaman terdepan dengan tanaman selanjutnya ditujukan untuk memberi ruang dan
akses jalan masyarakat. Jenis cemara udang dapat difungsikan sebagai buffer karena morfologii daunnya dapat
memecah butiran air dan menyaring garam dan kelenturan batang untuk kembali ke
posisi semula ketika diterjang gelombang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar