Senin, 07 September 2015

Pembangunan Hutan Pantai berbasis Pengurangan Resiko Bencana Tsunami

Sebagai konsekuensi dari kondisi geologi dan geografis kepulauan Indonesia, yaitu berada pada 3 buah lempeng yang terus menerus bergerak dan saling bertumbukan, adalah adanya zona-zona gempa yang sebagian besar berada di dasar laut dengan pusat-pusat gempa yang bervariasi kedalamannya dan sewaktu-waktu dapat membangkitkan gelombang Tsunami. Adanya ancaman tersebut menuntut penduduk khususnya di sekitar pesisir pantai untuk berpikir solusi jangka panjang  guna meminimalisir dampak yang ditimbulkan apabila gelombang tsunami terjadi. Upaya meminimalkan dampak tersebut tidak mudah dilakukan dan harus dilakukan secara terintegrasi. Penerapan sistem perlindungan pantai baik dengan Metode Perlindungan Alam (MPA) dan Metode Perlindungan Buatan (MPB) tidak terlepas dari peran masyarakat sekitar pesisir pantai.
Kegiatan yang dapat dilakukan sebagai upaya meminimalkan dampak akibat gelombang tsunami ataupun abrasi salah satunya dapat dilakukan dengan menerapkan Metode Perlindungan Buatan (MPB) dengan membuat struktur hutan buatan. Vegetasi pantai memiliki peran yang sangat penting sebagai pencegah abrasi. Tumbuhan pantai umumnya memiliki akar yang panjang dan kuat sehingga mampu menahan substrat dari hempasan gelombang. Demikian pula saat timbulnya tsunami, vegetasi pantai memiliki kemampuan untuk meredam energi gelombang yang sangat besar.
Efektifitas peredaman energi gelombang oleh vegetasi pantai sifatnya relatif dan ditentukan oleh banyak faktor. Kerapatan vegetasi, ketebalan vegetasi dari pantai ke arah darat, topografi pantai, karakteristik substrat serta kondisi ekosistem terumbu karang dan lamun sangat menentukan efektifitas vegetasi pantai dalam meredam gelombang. Efektifitas peredaman energi gelombang oleh vegetasi pantai umumnya berkisar antara 0 – 30 % (Desai, 2000).
Namun upaya pengurangan resiko bencana Tsunami dengan vegetasi sebagai buffer ini belum banyak dikembangkan. Salah satu hal yang menyebabkan belum diliriknya vegetasi pantai sebagai pelindung pantai adalah karena vegetasi pantai dianggap tidak memiliki nilai ekonomi sehingga masyarakat dan pemerintah setempat enggan melakukan penanaman.
Sebagai solusi terhadap permasalahan di atas dilakukan kombinasi terhadap kedua hal tersebut kedalam sebuah rancangan hutan pantai berbasis rekayasa vegetasi beserta perencanaan tata ruang yang dapat memenuhi kedua aspek permasalahan diatas yaitu kelestarian ekosistem dan peningkatan ekonomi masyarakat. Rekayasa vegetasi dengan memadukan tanaman kehutanan jenis Casuarina equisetifolia, Cocos nucifera dan pertanian buah naga diharapkan mampu mengurangi risiko terhadap gelombang tsunami.

Model tata ruang pertanaman sebagaimana digambarkan dalam gambar 9. Pada zona terdepan ditanam dengan jenis Casuarina equisetifolia dengan jarak tanam 2 x 3 m dengan sistim selang-seling (untu walang). Cemara udang disinii berfungsi sebagai barrier / pagar terdepan dengan alternative 3 lapis hingga 2 lapis. Casuarina equisetifolia toleran terhadap angin yang kuat sehingga dapat tumbuh pada daerah-daerah yang rentan terhadap topan tropis dan angin puyuh dan berfungsi pula untuk melindungi tumbuhan lain. Adanya jarak diantara tanaman terdepan dengan tanaman selanjutnya ditujukan untuk memberi ruang dan akses jalan masyarakat. Jenis cemara udang dapat difungsikan sebagai buffer karena morfologii daunnya dapat memecah butiran air dan menyaring garam dan kelenturan batang untuk kembali ke posisi semula ketika diterjang gelombang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar